Cerpen Motivasi


Anak SD dan Jembatan Pembawa Perubahan

(Nearacil)

“Zaimi, Zaimi….! Zaimi bangun….” Akupun terperanjat dalam naungan tidur yang tak berkesudahan dari tadi malam. Sambil mengucek sisa-sisa kesadaran yang ada, matakupun terbuka lebar. Untuk kedua kalinya jantungku dipompa sebegitu cepat, “Mengapa tidak?” Guru killer, Pak Sumantri berada tepat di depanku. “Waduh….Bapak, heheh…dari tadi ya, Pak?” 

“Zaimii..! Basuh cepat mukamu itu!” Seruan Pak Sumantri bak sebuah sensor yang berlari cepat menuju neuronku, tanpa berpikir lagi. Aku segera keluar dan membasuh muka. Tak selang beberapa menit, Akupun kembali masuk kedalam ruang kelas yang memuat 35 murid dan 1 guru itu. Keadaanpun menjadi hening, senyap dan sunyi. Semua mata melirik kearahku, namun keheningan ini tak berlangsung lama. Keheninganpun pecah ketika Pak Sumantri menyuruhku berdiri dan menghormati bendera yang ada dalam kelas.

Pak Sumantri merupakan salah satu guru besar di sekolahku. Sosok Pak Sumantri yang garang membuat semua siswa maupun siswi yang bertemu dengannya selalu merasa ketakutan, terlebih beliau merupakan guru mata pelajaran Matematika yang notabene induk eksakta. “Habislah riwayatku” gundahku dalam hati. Selain itu Pak Sumantri sangat menghargai yang namanya kepahlawanan jadi, apabila mendapat hukuman nantinya tidak akan jauh beranjak dari sikap nasionalisme dan patriotisme.

Sebenarnya dari sikap Pak Sumantri yang garang, beliau termasuk guru yang cukup peduli akan para muridnya. “Zaimi, sudah berapa kali bapak bilang ke kamu, kalau sekolah itu ya belajar bukan molor. Ini merupakan contoh yang tidak baik anak-anak jangan sesekali kalian ikuti akibatnya kalian akan merugi. Sebagai manusia….”

Aku masih tetap berdiri sambil menghormati bendera, sudah 20 menit berlalu Aku masih berdiam diri, mengangkat tangan. Sekujur tubuhku merasa capek yang luar biasa, terlebih tanganku mungkin saja asam laktatnya telah berkumpul membuat sebuah tumbukan sehingga tanganku terasa keram teramat sangat. Bel pertanda rehatpun telah berdering, Akupun akan bebas dari siksaan fisik ini.

Namun sebelumnya, Pak Sumantri membagikan hasil ujian kepada semua muridnya termasuk Aku. Inilah hal yang menjadi importan moment bagiku dan teman-temanku. Sebab hasil ujian kali ini merupakan gambaran bagaimana masa depan kami mendatang.

“Zaimi, ini punyamu…. Bapak kecewa dengan kamu, teman-temanmu nilainya tinggi-tinggi sedangkan kamu, masa’ nilai ini yang kamu bawa ke universitas? Tidakkah kamu malu”

“Apa? Aku mendapat nilai 38? Aku tak percaya, Aku tak percaya ini….” Batinku sekarang sudah tidak karuan lagi, Aku tidak menyangka akan terjadinya hal seperti ini, Nilai yang awalnya Aku harap menjadi bagus namun nyatanya malah jelek tidak karuan. Selama ini Aku telah berusaha semampuku. Didalam hati Aku sangat kecewa dan marah terhadap takdir yang menimpaku sekarang ini, apa mungkin Aku tidak bisa mendapat nilai bagus, sedangkan Aku telah berusaha siang dan malam untuk belajar. Akupun berpikir bagaimana nanti dengan orang tuaku, mereka pasti sangat kecewa dengan anaknya. Mereka telah menganggap Aku anak sulung mereka, yang akan membawa perubahan dalam keluarga. “Apakah Aku tega untuk mengecewakan mereka? ”

Akupun tak berdaya lagi menahan pemikiranku yang jauh terbang tidak tahu kemana, Aku mencoba bangkit dan keluar dari ruangan kelasku saat ini. Berlari menyusuri setiap sudut sekolah, mencari jalan keluar dari sekolah ini. Akhirnya, sampailah Aku digerbang sekolah, tanpa ada sebuah katapun keluar dari mulutku saat itu. Akupun memanjat gerbang tersebut, Aku ingin bebas dan keluar dari semua kekecewaan yang akan terjadi padaku nanti. “ Untuk apa Aku berlama-lama disini melihat teman-temanku yang mendapat hasil yang memuaskan. Aku tahu hasil yang mereka dapat hanya bohongan belaka. Mereka mendapat hasil tersebut melalui contekan. Dan ini tidak adil, Aku yang telah bersusah payah belajar dari awal pertemuan hanya mendapat nilai 38, sedangkan temanku yang tidak begitu belajar mendapat nilai 90. Ini tidak adil”.

Sepanjang perjalanan Aku berkutat dengan ketidakadilan yang menimpaku saat ini. Di sebuah jembatan Aku berhenti, mungkin ntah setan mana yang merasukiku. Namun rayuannya begitu kuat. “Untuk apa kamu hidup lagi, semua orang telah kecewa denganmu, Kau yang menjadi banggaan keluarga tidak ada lagi….” Aku termakan oleh rayuannya, dan serasa Aku tak berdaya lagi untuk menahan semua derita yang akan ku jalani. Terlebih kekecewaan yang akan dirasakan oleh kedua orang tuaku, menambah kuatnya keyakinan untuk Aku mengakhiri semuanya.

Aku berjalan menuju tepian pagar jembatan, melangkahkan kaki untuk keakhiran ini. Satu persatu bagian pagar jembatan Aku pijaki dan sampailah kepada bagian terakhir, Aku memandang kebawah dan berkata “Mungkin inilah yang terbaik untukku”. Dan Aku mulai memejamkan mata. “Ibu…Ayah…Maafkan anakmu”.

“Abang” seketika Aku mendengar suara, dan suara itu lama-kelamaan semakin keras, “Bang” dan sebuah tangan menyentuhku. Aku mulai membuka mataku dan melihat seorang anak kecil yang memakai seragam SD. “Abang lagi ngapain sih, awas jatuh loh nanti, Bang”. Keseimbangankupun goyah, badanku telah miring dari koordinat lurusnya. Dan Aku memberikan kekuatan kepada kedua kakiku, akhirnya Aku melonjat dan jatuh tepat di bagian tepi jembatan.

“Waduh, hampir saja….” Seorang anak memakai seragam SD dan memegang buku ditangannya merasa lega dikarenakan Aku tidak jadi jatuh ke bawah jembatan. “Abang lagi ngapain sih, Bang? Jangan bilang Abang mau bunuh diri, kata guru SD aku ketika aku di kelas 3 bunuh diri itu merupakan suatu sikap berputus asa dan Tuhan membenci orang yang berputus asa loh, Bang.”

Mendengar perkataan yang dewasa dari seorang anak kecil hatikupun luluh dan merasa malu karenanya. Apa yang telah Aku lakukan merupakan hal yang sangat bertentangan dengan agama. Sambil memandang langit, Aku berkata dalam hati “Ya, Tuhan maafkanlah hambamu ini.  Terima kasih Engkau telah mengirimkan seorang anak manusia untuk menghentikan semua ini”

Akupun mengalih pembicaraan, “Hai dek, apa kabar? Tadi tuh Abang nggak ngapa-ngapain kok, cuma mau menghibur diri aja. Adek siapa namanya?” sambil senyum Aku bertanya. “Namaku Wela, Bang?, Abang pasti namanya Zaimi Alqodrikan?”. “Kok tahu, adek tahu darimana?”. “Tuh dibaju Abang” Mendengar perkataan Wela Akupun jadi serasa anak kecil lagi, yang tidak tahu apa-apa.

Kamipun saling bertukar pikiran dan Wela menceritakan semua yang terjadi dengan pendidikannya, Wela tidak bisa bersekolah lagi karena faktor biaya yang tak mencukupi. Adzan Dzuhurpun menghentikan pembicaraan hangat kami berdua di bawah sebuah pohon yang tidak jauh dari jembatan. “Dek, dah adzan tuh, Abang pergi dulu, ya?”. Sambil menyelipkan selembar uang tak seberapa di bukunya. “oh, ya, Bang. Ya udah….” Kami berdiri berdua dan selanjutnya Aku pergi ke sekolah.

Dalam perjalanan Aku membatin lagi, “Ya, Tuhan terimakasih atas semua ini. Melalui Wela Aku telah belajar mengenai arti penting kehidupan. Kepada Pak Sumantri dan orang-orang yang berada di sampingku Aku berjanji tidak akan mengecewakan kalian. Dan ya, Tuhan pertemukan kembali Aku dengan Wela, kelak apabila Aku sukses nanti Aku akan menyekolahkannya ke pendidikan yang lebih tinggi. Aaamiiin….”. Sambil meletakkan tangan di dadaku, Akupun tersenyum dalam perjalanan mencapai kembali kehidupan hakiki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Me In Next Ten Years

Impianku Mengabdi untuk Negeri sebagai Engineer

Lombok Island dan Event SASAMBO GFE 2017